Pendidikan Agama Islam Berbasis Bimbingan Konseling


A.    PENDAHULUAN
Sejak dua dekade terakhir, pendidikan Indonesia lebih diarahkan pada ekspansi kesempatan pendidikan. Arah pendidikan semacam ini berimplikasi pada kebijakan strategis dalam bidang tersebut. Perluasan kesempatan pendidikan tersebut, salah satunya, dieja-wantahkan dalam bentuk pembangunan dan pendirian institusi pendidikan baru.
Pembangunan institusi pendidikan gres yang demikian tentu tidak selamanya negatif. Namun kebijakan ekspansi kesempatan pendidikan yang dieja-wantahkan dalam pembangunan institusi pendidikan, tidak selamanya diikuti dengan pemenuhan persyaratan  minimal yang harus dipenuhi bagi penyelenggara pendidikan yang sanggup mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional.
Abu Bakar M. Luddin dalam bukunya “Dasar-Dasar Konseling: Tinjauan Teori dan Praktek” menyatakan bahwa ekspansi kesempatan pendidikan perlu mempertimbangkan keseimbangan antara kuantitas institusi pendidikan gres dengan kualitas mutu pendidikan itu sendiri.[1]



Mengenai kasus minimnya kualitas penyelenggara pendidikan ini pernah disinyalir oleh salah seorang anggota dari Komisi Internasional untuk Pendidikan Abad ke-21 Unesco dari Jordania yang berjulukan In’am Al-Mufti. Beliau menyatakan:
In the past two decades in particular, governments and international agencies in the developing world sought the respond to developmental challenges by focussing increasingly on expanding educational opportunities. This drive by developing countries was in fulfillment of Unesco's mission to achieve "Educational for All". But the expansion in education was concentrated on coping with the growing demand for schooling, while the quality of educational itself was not given priority. The result was over-crowded school, outdated teaching methods based on learning by rote and teachers who have become unable to adapt to more modern approach such as democratic participation in the classroom, cooperative learning and creative problem solving. these are now obstacles to better education.[2]

Berdasarkan atas pendapat di atas kita mengetahui bahwa seolah terjadi missorientasi dalam memahami arti ekspansi kesempatan pendidikan. Pemahaman semacam ini hanya mengakibatkan banyaknya forum pendidikan, namun kurang memperhatikan hal prinsip lain, semisal masih dipakainya metode pengajaran yang lama berdasarkan berguru dengan hafalan. Selain itu guru juga menjadi tidak bisa untuk mengikuti keadaan dengan pendekatan yang lebih modern ibarat partisipasi demokratis di kelas, pembelajaran kooperatif dan pemecahan kasus secara kreatif. Intinya, masih terjadinya peningkatan kuantitas forum pendidikan dengan kurang memperhatikan kualitas penyelenggara pendidikan.
Pendidikan dikatakan berkualitas kalau proses pembelajarannya berlangsung secara menarik dan menantang sehingga akseptor didik sanggup berguru sebanyak mungkin melalui proses berguru yang berkelanjutan.[3]
Proses pendidikan yang berkualitas yang diungkapkan di atas diharapkan akan membuahkan hasil pendidikan yang berkualitas pula dan dengan demikian akan makin meningkatkan kualitas kehidupan bangsa.Dengan demikian sebenarnya terdapat perbandingan lurus antara input siswa, proses pendidikan dan hasil pendidikan.
Proses pendidikan yang demikian merupakan proses pendidikan yang bisa mengarahkan akseptor didik untuk menemukan identitas dan jatidiri serta mempersiapkan akseptor didik untuk mengarungi kehidupan di masanya dengan senantiasa mendorong untuk melaksanakan proses pendidikan yang berkelanjutan.
Melihat hal di atas, maka proses pendidikan yang memperlihatkan muatan berguru bagi akseptor didik menjadi dilema yang penting untuk meraih hasil (output) pendidikan yang berkualitas. Padahal, ibarat yang ditulis Sujono Samba dalam bukunya “Lebih Baik Tidak Sekolah”, praktik pendidikan yang berjalan selama ini, tentu saja termasuk dalam makna proses pendidikan itu sendiri, cenderung mengarahkan pada masyarakat kapitalis dan individualis yang jauh dari dasar karakter, budaya, dan tradisi bangsa yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan, kekerabatan, dan gotong royong.[4]
Inilah tantangan pendidikan kita selama ini, termasuk di dalamnya yaitu Pendidikan Agama Islam sebagai salah satu muatan kurikulum yang wajib diajarkan. Sejauhmana Pendidikan Agama Islam mempu menyediakan proses pembelajaran yang bermakna, berlangsung secara menarik dan menantang sehingga akseptor didik sanggup berguru sebanyak mungkin melalui proses berguru yang berkelanjutan.
Dengan melihat uraian di atas, maka sekali lagi proses pendidikan, termasuk PAI sebagai mata pelajaran, harus diarahkan sebagai proses pendidikan yang bermakna, menyiapkan akseptor didik menuju dunianya, dan berlangsung secara berkelanjutan.
Di sisi lain bimbingan konseling, sebagai pelayanan terhadap akseptor didik, secara mudah merupakan kegiatan yang bertujuan untuk membuatkan akseptor didik dalam upaya menghasilkan sumber daya insan yang berkualitas yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.[5]
Dari hal tersebut, setidaknya kita sanggup menangkap satu keterkaitan antara proses pendidikan secara umum, dan Pendidikan Agama Islam secara khusus, dengan kegiatan bimbingan konseling.
Namun sebagai mata pelajaran sebagai kepingan dari kurikulum, perlu dirumuskan sebuah bentuk pembelajaran PAI yang lebih khusus mensinergikan muatan PAI itu sendiri dengan muatan-muatan kegiatan bimbingan konseling. Hal ini perlu dilakukan supaya tujuan PAI tetap tidak terganggu, namun kegiatan bimbingan konseling juga sanggup mencapai tujuannya.

B.     PEMBAHASAN
1.      Pendidikan Agama Islam
Secara bahasa, kata pendidikan berasal dari kata dasar ‘didik’ yang berarti memelihara dan memberi latihan mengenai budpekerti dan kecerdasan pikiran.[6] Kata pendidikan dalam bahasa Yunani dikenal dengan nama paedagogos yang merupakan campuran kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing). Sehingga kata paedagogos diartikan sebagai penuntun anak.[7]
Sedangkan secara istilah, Carlo Nanni sebagaimana dikutip Doni Koesoema mendefinisikan pendidikan sebagai sebuah pengembangan kemampuan mendasar pribadi untuk menghayati kehidupannya di dunia ini secara bebas dan bertanggung jawab, dalam kebersamaan dengan orang lain, seiring perjalanan waktu dan usia, dalam persimpangan kekerabatan interpersonal dan dalam kehidupan sosial yang tertata dan terorganisasi secara historis.[8]
Menurut Moh. Roqib, pendidikan yaitu perjuangan atau proses perubahan dan perkembangan insan menuju ke arah yang lebih baik dan sempurna.[9]Doni Koesoema, dengan menyimpulkan banyak sekali pendapat para ahli, mengemukakan definisi pendidikan sebagai sebuah perjuangan sadar yang ditujukan bagi pengembangan diri insan secara utuh, melalui banyak sekali macam dimensi yang dimilikinya (religius, moral, personal, sosial, kultural, temporal, institusional, relasional,dan sebagainya) demi proses penyempurnaan dirinya secara terus menerus dalam memaknai hidup dan sejarahnya di dunia ini dalam kebersamaan dengan orang lain.[10]
Sedangkan Pendidikan Agama Islam oleh Aat Syafaat dan Sohari Sahrani dimaknai sebagai suatu perjuangan yang sistematis dan pragmatis dalam membimbing anak didik yang beragama Islam dengan cara sedemikian rupa, sehingga ajaran-ajaran Islam itu benar-benar sanggup dijiwai dan menjadi kepingan yang integral dalam dirinya.[11]
Pendidikan Agama Islam juga didefinisikan sebagai pendidikan dengan melalui ajaran-ajaran Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik supaya nantinya sesudah selesai dari pendidikan ia sanggup memahami, menghayati dan mengamalkan anutan agama Islam yang telah diyakininya, serta menjadikan keselamatan hidup di dunia maupun di alam abadi kelak.[12]
Dengan pengertian-pengertian di atas, maka definisi Pendidikan Agama Islam yaitu kegiatan yang berupa bimbingan dan asuhan yang dilakukan seseorang untuk membantu oranglain atau kelompok akseptor didik dalam menanamkan dan menumbuh-kembangkan anutan Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidup yang diaplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari.
a.       Posisi Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional
Pendidikan agama, termasuk Islam, menerima daerah dan posisi yang dianggap strategis dalam sistem pendidikan di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pasal dan ayat di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Salah satu pasal yang memuat ihwal nilai pentingnya pendidikan agama dalam pendidikan nasional yaitu pasal 1 ayat (2) yang berisi ihwal definisi Pendidikan Nasional, yaitu; “Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”.[13]
Di dalam ayat tersebut terang disampaikan bahwanilai-nilai agama mempunyai dua fungsi dalam pendidikan yaitu; pertama, sebagai tujuan pendidikan (agar akseptor didik mempunyai kekuatan spiritual keagamaan), dan kedua, sebagai sumber nilai dalam proses pendidikan nasional.
Di dalam Pasal 37 ayat (1) disebutkan pula bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat salah satunya pendidikan agama, disamping pendidikan-pendidikan yang lain.[14]
Selain itu, dengan mengutip pendapat M. Arifin, Abdur Rahman Assegaf mengungkapkan bahwa pendidikan agama sesudah diwajibkan di sekolah-sekolah telah memperlihatkan pengaruhnya dalam perubahan tingkah laku remaja ke arah yang relatif lebih baik. Setidaknya imbas pendidikan agama tersebut secara minimal sanggup menanamkan benih keimanan yang sanggup menjadi daya preventif terhadap perbuatan negatif remaja atau bahkan mendorong mereka untuk bertingkah laku susila dan sesuai dengan norma agamanya.[15]
Dengan melihat uraian-uraian di atas, maka sanggup disimpulkan bahwa posisi pendidikan agama, termasuk Pendidikan Agama Islam, sangatlah penting sebagai kepingan dalam sistem pendidikan di Indonesia.
b.      Fungsi Pendidikan Agama Islam
Dalam sebuah buku berjudul “Menjadi Bangsa Terdidik Menurut Soedjatmoko” dikatakan bahwa salah satu fungsi pendidikan agama yaitu membekali anak didik dengan seperangkat nilai dan norma yang diharapkan menjadi pegangan hidup mereka di kemudian hari. Fungsi demikian tentu masih bersifat aneh dan relevansinya sulit ditangkap oleh anak didik yang belum mempunyai pengalaman sosial. Oleh karenanya, fungsi tersebut seyogyanya lebih diinterpretasikan sebagai penenaman motivasi yang berpengaruh bagi akseptor didik untuk menghubungkan nilai-nilai yang dipelajari dengan kenyataan sosial yang ada.[16]
Sedangkan Kyai Muchit Muzadi dalam biografinya yang ditulis oleh Moch. Eksan, dia memberikan bahwa fungsi pendidikan Islam yaitu membuat umat Islam bisa melaksanakan anutan Islam dengan baik dan sempurna, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.[17]
Meski secara definitif pengertian Pendidikan Islam[18] dengan Pendidikan Agama Islam seringkali dibedakan[19], namun setidaknya kita sanggup memahami bahwa Pendidikan Agama Islam merupakan kepingan tidak terpisahkan dari Pendidikan Islam itu sendiri. Artinya, Pendidikan Islam, ibarat yang dimaksud Kyai Muchith Muzadi di atas juga mencakup Pendidikan Agama Islam.
Sedangkan makna kata kuantitatif dan kualitatif yang dimaksudkan dalam pendapat Muchith Muzadi di atas, berdasarkan penulis, yaitu fungsi Pendidikan Agama Islam  yang tidak sekedar terhenti pada pemahaman kognitif yang bersifat rasional dan hafalan semata, melainkan juga pemahaman afektif dan psikomotorik yang bersifat keyakinan, perasaan dan juga melibatkan aspek laku (praktek) dalam kehidupan sehari-hari.
Makna kuantitatif dan kualitatif yang demikian terasa sangat dibutuhkan sebagai perjuangan menjadikan, meminjam istilah Nader Hashemi[20], Islam yang membumi. Dan juga sebaliknya, makna tersebut sebagai antisipasi dan perjuangan menghindarkan diri dari, apa yang disebut oleh Mahmud Arif sebagai pendidikan di sekolah yang anti realitas.[21]
Fungsi Pendidikan Agama Islam yang lebih detail juga dikemukakan oleh Abdul Majid dan Dian Andayani. Mereka menguraikan fungsi Pendidikan Agama Islam sebagai berikut:
1)      Fungsi pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan danketakwaan akseptor didik yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga.
2)      Fungsi penanaman nilai, yaitu sebagaipedoman hidup untuk mencari kebahagian dunia akhirat.
3)      Fungsi adaptasi mental, yaitu menyesuaikan diri dengan lingkungannya baik lingkungan fisik maupun sosial dan sanggup mengubah lingkungan sesuai dengan anutan agamaIslam.
4)      Fungsi perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan,kekurangan dan kelemahan akseptor didik dalamkeyakinan, pemahaman dan pengalaman anutan dalam kehidupan sehari-hari.
5)      Fungsi pencegahan, yaitu untuk mencegah hal-hal yang negatif dari lingkunganatau dari budaya lain yang sanggup membahayakan diri akseptor didik dan menghambatperkembangannya menuju insan kamil.
6)      Fungsi penyaluran, yaitu untuk menyalurkan bawah umur yang mempunyai talenta khusus dalam agama Islam agarbakat tersebut sanggup berkembang secara optimal sehingga sanggup dimanfaatkanuntuk dirinya dan orang lain.[22]

Dari keterangan di atas, maka fungsi Pendidikan Agama Islam antara lain yaitu meliputi; pengembangan, penanaman nilai, adaptasi mental, perbaikan, pencegahan, dan penyaluran.

2.      Bimbingan Konseling
Bimbingan dan konseling merupakan terjemahan dari kata guidance dan counseling dalam bahasa Inggris. Arti dari kedua istilah tersebut akan sanggup dimaknai dengan tepat bila dilihat dari makna di dalam bahasa Inggris.[23]
Di dalam buku “Guidance and Counselling in Schools and Colleges”, George A. Lutomia dan Laban W. Sikolia menyatakan:
Guidance is giving advice or suggestions or directions or instructions to people who have problems, whether spiritual or psychological.[24]

(Bimbingan yaitu memperlihatkan hikmah atau saran atau arah atau petunjuk kepada orang-orang yang mempunyai masalah, baik spiritual atau psikologis.)

Sementara itu, Jessy Abraham dalam bukunya “Guidance & Counselling For Teacher Education” mendefinisikan Guidance sebagaithe process of helping people make important choices that affect their lives, such as choosing a preferred life style.[25] (proses membantu orang membuat pilihan penting yang mempengaruhi kehidupan mereka, ibarat menentukan gaya hidup yang lebih disukai).
Dengan demikian bimbingan sanggup diartikan sebagai kegiatan dalam rangka membantu orang untuk menuntaskan kasus mereka, baik itu kasus yang bersifat spiritual maupun psikologis.
Sedangkan counseling(konseling) yaitu proses pembelajaran yang seseorang itu berguru ihwal dirinya serta ihwal korelasi dalam dirinya kemudian menentukan tingkah laku yang sanggup memajukan perkembangan pribadinya.[26]
Sedangkan Kukuh Jumi Adi mengutip pendapat Natawijaya mendefinisikan konseling sebagai korelasi timbal balik antara dua orang individu, dimana yang seorang (konselor) berusaha membantu yang lain (klien) untuk mencapai pengertian ihwal dirinya sendiri dalam korelasi dengan masalah-masalah yang dihadapinya pada waktu yang akan datang.[27]
Dengan pengertian demikian maka sanggup dikatakan bahwa konseling yaitu korelasi antara seorang konselor dengan seorang klien atau lebih, bertujuan untuk membantu klien memahami ruang hidupnya, serta mempelajari untuk membuat keputusan sendiri melalui pilihan-pilihan yang bermakna, berasaskan informasi dan melalui penyelesaian masalah-masalah yang dihadapinya pada waktu yang akan datang.
Merangkum pendapat dan definisi bimbingan dan konseling di atas, maka sanggup disimpulkan bahwa kegiatan bimbingan dan konseling intinya yaitu kegiatan untuk menterapi, mengarahkan, membimbing, menuntun, menyadarkan, menghilangkan mental blok, memberi semangat, ataupun memberi motivasi dengan suasana akrab, nyaman, positif dengan melalui proses menemukan dan mengungkap akar masalah, mengidentifikasi penyebab, dan memberi solusi.
Tujuan bimbingan dan konseling antara lain; menyediakan akomodasi untuk perubahan perilaku, meningkatkan keterampilan untuk menghadapi sesuatu, meningkatkan kemampuan dalam menentukan keputusan, meningkatkan korelasi antar perorangan, dan menyediakan akomodasi untuk pengembangan kemampuan klien.[28]

3.      Pendidikan Agama Islam berbasis Bimbingan Konseling
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa Pendidikan Agama Islam hakekatnya yaitu kegiatan yang berupa bimbingan dan asuhan yang dilakukan seseorang untuk membantu orang lain atau kelompok akseptor didik dalam menanamkan dan menumbuh-kembangkan anutan Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidup yang diaplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan pengertian semacam ini maka pendidikan diarahkan pada proses penyiapan akseptor didik untuk menghadapi kehidupan sehari-hari dengan berlandaskan pada norma dan anutan agama Islam.
Pengertian di atas sejalan dengan tujuan bimbingan dan konseling secara umum, dimana kegiatan ini lebih ditujukan sebagai proses penyiapan klien menghadapi kasus yang akan datang. Secara rinci penyiapan akseptor didik menghadapi kasus tersebut, sesuai yang telah dijelaskan, sanggup ditempuh melalui cara-cara; menyediakan akomodasi untuk perubahan perilaku, meningkatkan keterampilan untuk menghadapi sesuatu, meningkatkan kemampuan dalam menentukan keputusan, meningkatkan korelasi antar perorangan, dan menyediakan akomodasi untuk pengembangan kemampuan klien.
Dengan berdasarkan uraian di atas, maka berdasarkan penulis, terdapat beberapa hal yang menjadi prinsip dalam konteks Pendidikan Agama Islam berbasis bimbingan dan konseling, antara lain:
a.       Posisi kegiatan bimbingan dan konseling dalam Pendidikan Agama Islam
Meskipun di awal pembahasan telah disampaikan bahwa terdapat keterkaitan antara esensi PAI dan bimbingan konseling, namun kalau dipahami bahwa PAI dan bimbingan konseling sebagai mata pelajaran berbeda, maka konsep PAI berbasis bimbingan dan konseling sanggup dikategorikan sebagai pembelajaran terintegrasi (pembelajaran terpadu).
Menurut Bonne Jean Brown Leonard dalam disertasinya menulis: “Integration of learning is the demonstrated ability to connect knowledge across disciplines, and from disparate contexts and perspectives[29] (Integrasi pembelajaran yaitu kemampuan memperlihatkan untuk menghubungkan pengetahuan di seluruh disiplin ilmu, dan dari konteks dan perspektif yang berbeda).
Dengan pembelajaran terintegrasi ibarat di atas maka arah pembelajaran ditujukan untuk memadukan ranah kognitif dan non kognitif ke dalam satu paket pembelajaran. Dimensi kognitif mengacu pada bagaimana memperkaya pengetahuan akseptor didik, sedangkan dimensi non kognitif lebih pada aspek afeksi dan mempengaruhi sikap siswa.
Di dalam pembelajaran terintegrasi ini maka terdapat satu pokok kajian yang dijadikan materi pokok dan kemudian diintegrasikan dengan materi lain yang mempunyai alur sama dengan materi pokok.
Dalam hubungannya dengan PAI berbasis bimbingan dan konseling, maka materi pokok merupakan materi PAI yang sedang menjadi topik pelajaran, sedangkan materi bimbingan konseling dijadikan materi pendukung. Namun bukan berarti materi pendukung tersebut tidak penting, bahkan bisa jadi materi pendukung menempati porsi penting dalam pembelajaran.
b.      Fungsi PAI berbasis bimbingan dan konseling
Dengan mendasarkan pada sinergitas antara fungsi Pendidikan Agama Islam dan bimbingan konseling maka fungsi PAI berbasis bimbingan dan konseling yaitu menyiapkan akseptor didik untuk berperilaku sehari-hari sesuai dengan  anutan agama Islam yang tidak sekedar terhenti pada pemahaman kognitif yang bersifat rasional dan hafalan semata, melainkan juga pemahaman afektif dan psikomotorik yang bersifat keyakinan, perasaan dan juga melibatkan aspek laku (praktek) dalam kehidupan sehari-hari.
c.       Tujuan PAI berbasis bimbingan dan konseling
Pendidikan Agama Islam yang berbasis bimbingan konseling berdasarkan hemat penulis yaitu sebuah konsep pembelajaran yang bertujuan untuk menjadikan anutan agama Islam sebagai patokan, ukuran dan pijakan dalam:
1)      Perubahan sikap
Salah satu tujuan dalam kegiatan bimbingan konseling yaitu untuk membuat perubahan sikap yang memungkinkan klien sanggup lebih produktif dan sanggup menikmati kepuasan hidup.[30]
Namun yang perlu menerima perhatian, kaitannya dengan konsep PAI berbasis bimbingan dan konseling, yaitu dengan cara bagaimana produktifitas tersebut sanggup dicapai dan kepuasan hidup yang ibarat apa yang hendak diraih.
Menurut Azhari Akmal Tarigan, produksi hakekatnya yaitu membuat maslahah (manfaat) atas suatu benda. Dalam Islam, produksi tidak semata-mata berorientasi untuk memperoleh laba (dalam konteks ekonomi) sebanyak-banyaknya, meski hal tersebut tidak dilarang. Makara muslim yang produktif bukanlah profit maximer. Aspek falah harus menjadi tujuan produksi.[31]
Dari sedikit uraian tersebut nampak terang bagaimana keterkaitan antara produktifitas dan kepuasan hidup (falah) dalam pandangan Islam. Lebih jauh lagi kalau konsepkepuasan hidup dikaitkan dengan tidak sekedar kepuasan hidup di dunia, melainkan juga kepuasan di akherat, maka kiprah Pendidikan Agama Islam sebagai proses bimbingan dan konseling akan semakin kentara.
2)      Menghadapi masalah
George & Cristiani sebagaimana dikutip Singgih Gunarsa menyampaikan bahwa membantu orang berguru untuk menghadapi situasi dan tuntutan gres yaitu tujuan penting dari konseling.[32]
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa terkadang orang mengalami kesulitan menghadapi proses pertumbuhan dan perkembangannya. Begitupun akseptor didik yang selalu berkembang. Sehingga seringkali akseptor didik menghadapi sesuatu yang gres yang belum tentu disenangi atau dituruti.
Persoalan ibarat ini menjadi tanda bahwa kehidupan mustahil terhindar dari dilema yang harus dihadapi dan lantaran itu membutuhkan kemampuan, keterampilan dan juga kemauan dan kesanggupan untuk menghadapi kasus tersebut.
Seseorang melalui proses interaksinya dengan dunia luar, bisa berguru sesuatu, memperoleh sesuatu cara untuk menghadapi dan mengatasi masalah. Tergantung dari pengalaman dan bekal yang telah dimiliki orang tersebut.
Di sinilah kiprah Pendidikan Agama Islam sebagaiproses kegiatan bimbingan dan konseling untuk membekali akseptor didik mengatasi kasus dirinya.
3)      Meningkatkan kemampuan dalam menentukan keputusan
Dalam kondisi tertentu, seseorang diharuskan membuat keputusan mengenai dirinya. Oleh lantaran itu salah satu tujuan Pendidikan Agama Islam berbasis bimbingan dan konseling yaitu membekali akseptor didik dengan sifat-sifat bakir dan bijaksana, tidak tergesa-gesa dan berusaha bersikap tenang.
Hal ini dilakukan lantaran dalam ranah bimbingan dan konseling, seorang konselor sesungguhnya hanya sebatas memperlihatkan masukan dan membekali klien dengan pertimbangan dalam membuat keputusan serta membekali klien dengan alur berfikir seseorang dalam menentukan keputusan. Sedangkan keputusan hakekatnya ada pada diri klien itu sendiri.[33]
Singgih Gunarsa mengutip pendapat George & Cristiani mengemukakan bahwa tujuan konseling ialah merangsang seseorang untuk melaksanakan penilaian, menentukan, mendapatkan dan bertindak atas dasar pilihannya.[34]
4)      Meningkatkan korelasi antar perorangan
Manusia merupakan makhluk sosial, artinya dikarenakan insan merupakan makhluk yang bersifat sosial (membutuhkan korelasi dengan orang lain) maka insan hidup dalam masyarakat manusiawi.[35]
Sebagai makhluk sosial tersebut insan diharapkan bisa membina korelasi yang serasi dengan lingkungan sosialnya, mulai dari kecil ketika sekolah, dengan rekan sebaya, sobat kerja dan keluarga.
Seringkali kegagalan dalam korelasi antar perseorangan merupakan kegagalan dalam adaptasi diri yang antara lain disebabkan oleh kurang tepatnya memandang atau menilai diri sendiri atau kurangnya keterampilan untuk menyesuaikan diri.[36]
Maka, tujuan Pendidikan Agama Islam berbasis bimbingan dan konselingantara lain untuk meningkatkan kualitas kehidupan seseorang sehingga pandangan dan evaluasi terhadap diri sendiri bisa lebih objektif serta meningkatkan keterampilan dalam adaptasi diri supaya lebih efektif.
5)      Menyediakan akomodasi untuk pengembangan kemampuan akseptor didik
Menurut paham humanisme, pada hakikatnya setiap orang punya kemampuan, namun acap kali ternyata kemampuan tersebut tidak atau kurang berfungsi secara maksimal. Ketidak maksimalan kemampuan tersebut bisa disebabkan lantaran permasalahan kepribadiannya atau juga bisa disebabkan lantaran lingkungannya.[37]
Dalam posisi ini kegiatan konseling dibutuhkan setidaknya untuk dua hal, yaitu; pertama, konseling berupaya memaksimalkan kebebasan pribadi sesuai dengan kemungkinannya dalam batas-batas yang diperoleh dari dirinya sendiri atau lingkungan.Kedua, konseling berupaya untuk memaksimalkan efektivitas pribadi dengan membuatkan penguasaannya terhadap lingkungan dan respons-respons di dalam dirinya.[38]
d.      Karakteristik PAI berbasis bimbingan dan konseling
Pendidikan Agama Islam sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan di seluruh jenjang sekolah mempunyai posisi strategis dalam pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling akseptor didik. Namun demikian konsep Pendidikan Agama Islam berbasis bimbingan dan konseling dengan tujuan yang telah disebutkan di atas tentu mempunyai karakteristik yang menjadikannya nilai plus dibandingkan dengan Pendidikan Agama Islam secara umum. Karakteristik lebih mengacu pada materi integrasi antara Pendidikan Agama Islam sebagai mata pelajaran pokok dan bimbingan konseling sebagai materi pendukung. Karakteristik tersebut antara lain:
1)      PAI berbasis bimbingan konseling sebagai kegiatan bantuan
Pendidikan Agama Islam berbasis bimbingan konseling menempatkan dirinya sebagai kegiatan yang terorganisir dan sistematis untuk memperlihatkan pemberian kepada akseptor didik.
Karakteristik PAI berbasis bimbingan konseling sebagai kegiatan pemberian merujuk pada karakteristik bimbingan itu sendiri. Singgih Gunarsa mengutip pendapat Shertzer & Stone mengemukakan bahwa kegiatan pemberian kepada orang lain dalam rangka konseling yaitu perjuangan melalui korelasi dengan orang lain, mengambil kepingan dalam menyediakan akomodasi atau jalan yang positif untuk kemajuannya.[39]
Dengan mengutip pendapat di atas maka di dalam pembelajaran PAI berbasis bimbingan konseling, guru PAI menempatkan dirinya, selain sebagai guru PAI juga sebagai konselor yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan, perkembangan, kematangan, serta meningkatkan dan kemampuan akseptor didik menghadapi tantangan kehidupan.
2)      PAI berbasis bimbingan konseling untuk perubahan perilaku
Perubahan sikap bisa terjadi oleh imbas lingkungan melalui proses berguru atau proses kondisioning sebagai jawaban dari hubungannya dengan lingkungan. Jafar Mahmud dalam bukunya berjudul “Education Psychology” menyatakan man grows into what his environment, training and education make him.[40](Manusia tumbuh menjadi ibarat lingkungan, training dan pendidikan yang membentuknya).
Di dalam PAI berbasis bimbingan konseling, guru PAI sanggup bertindak sebagai ketiga faktor(lingkungan, pelatih, maupun pendidik) yang dengan posisinya ia sanggup mempengaruhi sikap akseptor didik.
Di dalam ilmu psikologi terdapat prinsip yang menyebutkan bahwa insan intinya selalu berada pada proses perubahan (in a process of changing).[41] Oleh lantaran selalu berada pada proses perubahan tersebut maka sesungguhnya secara teoritis insan selalu mungkin berubah (oleh cita-cita di dalam dirinya) atau juga dirubah oleh lingkungannya. Pemahaman semacam ini sanggup digunakan oleh guru PAI untuk bersikap positif dan optimistik bahwa sesuatu masih sanggup dilakukan untuk melaksanakan sikap akseptor didik.
Oleh karenanya, dalam kegiatan pembelajaran PAI berbasis bimbingan dan konseling, guru menstimulasi sikap akseptor didik untuk senantiasa berperilaku sesuai dengan anutan Islam.
3)      Menjadikan lingkungan sebagai pendukung kegiatan PAI berbasis bimbingan konseling
Seperti telah diungkapkan di atas, bersama-sama selain oleh dirinya sendiri, perubahan sikap akseptor didik juga dipengaruhi oleh lingkungan dimana akseptor didik berada. Oleh lantaran hal tersebut maka dalam konsep PAI berbasis bimbingan konseling lingkungan menjadi salah satu hal penting yang harus diperhatikan. Lingkungan hendaknya dikondisikan supaya tujuan konsep PAI berbasis imbingan konseling sanggup tercapai secara maksimal.
Menurut Jafar Mahmud, lingkungan terkait dengan pendidikan terbagi menjadi empat, yaitu:
a)      Lingkungan Fisik (Physical Environment), yaitu lingkungan berwujud fisik di sekitar akseptor didik, antara lain rumah, jalan, halaman sekolah, gedung sekolah dan lingkungan sekitar.
b)      Lingkungan Intelektual/Mental (Intellectual or mental Environment), yang terdiri dari buku-buku, kepentingan intelektual orang di sekitar akseptor didik, perpustakaan, museum, radio dan laboratorium.
c)      Lingkungan Emosional (Emotional Environment),terdiri atas kualitas emosional orang tua, guru, dan teman-teman bermain.
d)     Lingkungan Sosial (Social Environment), anggota keluarga, lingkungan, kumpulan dari teman-teman dan guru di sekolah dan masyarakat pada umumnya merupakan lingkungan sosial.[42]

Pentingnya lingkungan yang sesuai untuk pendidikan yang layak bagi anak tidak sanggup diabaikan. Dalam kegiatan PAI berbasis bimbingan konseling, penting bagi seluruh stake holder di sekolah untuk membuat kondisi ke-empat lingkungan di atas supaya aman dan mendukung kegiatan yang dilaksanakan.
4)      Peran GuruPAI berbasis bimbingan dan konseling
Di dalam kegiatan Pendidikan Agama Islamberbasis bimbingan dan konseling, guru PAI tidak hanya sekedar berfungsi sebagai guru yang bertugas memberikan materi-materi pelajaran PAI sebagai kiprah utamanya semata. Lebih dari itu, guru PAI dalam kegiatannya mempunyai multi fungsi, antara lain:
a)      Konselor
Sebagai seorang konselor, Guru PAI hendaknya bisa melayani kebutuhan konseling individual atau kelompok siswa yang dialih-tangankan oleh guru atau orang bau tanah atau hasil identifikasi konselor itu sendiri. Proses konseling hendaknya mengakui kedudukan siswa dalam pertumbuhan dan perkembangannya serta implikasinya bagi pelaksanaan konseling.
b)      Konsultan
Sebagai konsultan, guru PAI hendaknya berdialog secara eksklusif dengan guru-guru, orang tua, atau profesi sejawat yang lainnya untuk membantu mengidentifikasi murid dalam adegan sekolah. Dalam kiprah ini, konselor membantu rekan sejawat dalam membantu perkembangan dan adaptasi kebutuhan siswa secara lebih efektif.
c)      Koordinator
Guru PAI mempunyai kiprah sebagai koordinator kegiatan Pendidikan Agama Islam di sekolah, serta acara keagamaan berbasis bimbingan konseling lainnya di sekolah bahkan di dalam kelas. Sebagai pihak pemberi bantuan, Guru PAI berbasis bimbingan konseling hendaknya menmperhatikan kontribusi guru profesional BK di sekolah dan pihak lainnya yang mempunyai kepentingan sama.
d)     Agen Orientasi
Sebagai salah satu fasilitator pengembangan kemanusiaan, guru PAI hendaknya mengakui orientasi para siswa terhadap tujuan dan lingkungan sekolah. Hal ini sangat penting mengingat pengalaman pendidikan hendaknya menjadi sesuatu yang positif. Dengan demikian guru PAI hendaknya merancang acara kelompok dan mengkonsultasikannya dengan guru-guru lain dalam membantu para siswa berguru dan melaksanakan keterampilan korelasi kemanusiaan yang mempunyai kegunaan bagi adaptasi dalam kebersamaan yang dipengaruhi oleh kegiatan PAI di sekolah.
e)      Assessment
Guru PAI berbasis bimbingan konseling berperan sebagai pengumpul data dan sekaligus menterjemahkan hasil pengukuran baik data tes maupun non tes. Ia tidak saja bisa mengumpulkan data namun juga sekaligus menafsirkan data siswa secara utuh. Pemanfaatan data tidak sekedar untuk memahami siswa, melainkan guru PAI harus bisa memahami imbas kebudayaan, sosiologi sekolah, dan imbas faktor lingkungan lainnya serta faktor-faktor penentu sikap siswa.
f)       Pengembang Karir
Pengembangan karir merupakan fundamen yang sangat penting bagi pangambilan keputusan tahap-tahap selanjutnya. Sekalipun guru-guru lainnya juga mempunyai tanggung jawab bagi perencanaan dan pelaksanaan pendidikan karir, guru PAI sanggup memperlihatkan sumbangan besar sebagai koordinator dan konsultan dalam membuatkan acara secara berkesinambungan, berurut dan terpadu.
g)      Agen Pencegahan (Agent of Prevention)
Di sekolah terdapat sejumlah gejala bagi kemungkinan kasus yang akan dialami di masa mendatang. Seperti kesulitan belajar, ketidakbahagiaan, depresi, berkelahi, perpecahan, pertengkaran, keras kepala, impulsif. Keadaan body yang secara akumulasi ditampilkan oleh bawah umur yang tidak bisa menyesuaikan diri selama di sekolah mempunyai resiko untuk mengalami banyak sekali dilema di kemudian hari. Guru PAI dan guru lainnya, terutama guru BK, hendaknya membuatkan acara yang sanggup mengantisipasi dan mencegah berkembangnya potensi kasus yang dihadapi akseptor didik.
e.       Kegiatan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbasis Bimbingan Konseling
Sebagai guru yang mengajar mata pelajaran, guru PAI intinya mempunyai kiprah sebagai pembimbing. Ahman dan Sunaryo Kartadinata mengutip Rochman Natawidjaja mengidentifikasi sikap  bimbingan seorang guru sebagai adaptasi interaksional dalam PBM,yaitu:
1)      Perlakuan terhadap siswa sebagai individu yang mempunyai potensi untuk berkembang dan maju serta bisa mengarahkan dirinya sendiri untuk mandiri,
2)      Sikap yang positif dan masuk akal terhadap siswa,
3)      Perlakuan terhadap siswa secara hangat, ramah, rendah hati, dan menyenangkan,
4)      Pemahaman siswa secara empatik,
5)      Penghargaan terhadap martabat siswa sebagai individu,
6)      Penampilan diri secara orisinil (genuine) di depan siswa,
7)      Penerimaan siswa secara apa adanya,
8)      Perlakuan terhadap siswa secara terbuka,
9)      Kepekaan terhadap perasaan yang dinyatakan siswa untuk menyadari perasaannya itu,
10)  Kesadaran bahwa tujuan mengajar bukan terbatas pada penguasaan siswa terhadap materi pelajaran saja, melainkan menyangkut pengembangan siswa menjadi individu yang lebih dewasa,
11)  Penyesuaian diri terhadap keadaan yang khusus.[43]

Berdasarkan sikap tersebut, maka idealnya yang dilakukan guru PAI dalamkegiatan pembelajaran PAI berbasis bimbingan dan konseling antara lain:
1)        Mengembangkan iklim kelas yang bebas dari ketegangan dan yang bersuasana membantu perkembangan siswa
2)        Memberikan pengarahan atau orientasi dalam rangka berguru yang efektif
3)        Mempelajari dan menelaah siswa untuk menemukan kekuatan, kelemahan, kebiasaan dan kesulitan yang dihadapinya
4)        Memberikan konseling kepada siswa yang mengalami kesulitan, terutama kesulitan yang bekerjasama dengan bidang studi yang diajarkannya
5)        Menyajikan informasi ihwal kasus pendidikan dan jabatan
6)        Mendorong dan meningkatkan pertumbuhan pribadi dan sosial siswa
7)        Melakukan pelayanan referensi (referral)
8)        Melaksanakan bimbingan kelompok di kelas
9)        Memperlakukan siswa sebagai individu yang mempunyai harga diri, dengan memahami kekurangan, kelebihan dan masalah-masalahnya
10)    Menyelenggarakan pengajaran sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan siswa
11)    Membimbing siswa untuk membuatkan kebiasaan berguru dengan baik
12)    Menilai hasil berguru siswa secara menyeluruh dan berkesinambungan
13)    Melakukan perbaikan pengajaran bagi siswa yang membutuhkan
14)    Menyiapkan informasi yang dibutuhkan untuk dijadikan masukan dalam pertemuan kasus bersama guru lain
15)    Bekerja sama dengan tenaga pendidikan lainnya dalam memperlihatkan pemberian yang dibutuhkan siswa
16)    Memahami dan melaksanakan kebijaksanaan dan prosedur-prosedur bimbingan yang berlaku.

4.      Kelemahan Pendidikan Agama Islam berbasis Bimbingan Konseling
Sebagai acara yang mencoba memadukan dua mata pelajaran berbeda, Pendidikan Agama Islam berbasis bimbingan konseling tentu mempunyai kelemahan. Kelemahan tersebut, berdasarkan hemat penulis, tidak kemudian dijadikan alasan untuk tidak memberlakukan acara tersebut, namun lebih menjadi pemicu bagi pelaksana untuk mencari solusi yang sesuai dengan kondisi dan situasi di sekolah.
Menurut penulis, banyak sekali kelemahan yang sanggup dikemukakan berkaitan dengan konsep Pendidikan Agama Islam berbasis bimbingan konseling tersebut antara lain:
a.       Tumpang Tindih Materi Pembelajaran
Sebagai kegiatan yang menerapkan konsep pembelajaran terintegrasi, dimana terdapat satu pokok kajian yang dijadikan materi pokok dan kemudian diintegrasikan dengan materi lain yang mempunyai alur sama dengan materi pokok, maka berpotensi menumbulkan overlapping materi. Artinya, terkadang materi pokok yaitu materi Pendidikan Agama Islam, yang ketika ini sarat dengan pengetahuan ranah kognitif, akan sanggup terabaikan dan pembelajaran lebih terfokus pada mendengar dan menuntaskan kasus akseptor didik sebagai kegiatan bimbingan konseling.
b.      Kekurangan Waktu
Keluasan materi yang merupakan hasil dari integrasi dua mata pelajaran tersebut juga mengakibatkan potensi kekurangan waktu. Asumsinya, dalam waktu yang sama seorang guru PAI diharuskan mengajarkan dua materi pembelajaran yang meski satu tema namun berbeda.
c.       Tantangan Kreatifitas Guru PAI
Guru PAI berbasis bimbingan konseling setidaknya dituntut mempunyai kreatifitas tinggi dalam dua hal, yaitu:
1)      Mengintegrasikan materi-materi dari duamata pelajaran berbeda
2)      Mengelola dan membantu penyelesaian kasus akseptor didik
d.      Jika tidak ada pengelolaan kegiatan bimbingan konseling dengan baik maka kegiatan PAI berbasis bimbingan konseling juga rawan berbenturan dengan guru Bimbingan Konseling yang ada.

C.    KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka terdapat beberapa hal sebagai bentuk kesimpulan dari makalah yang ditulis, antara lain:
1.      Pendidikan Agama Islam merupakan kegiatan yang berupa bimbingan dan asuhan yang dilakukan seseorang untuk membantu orang lain atau kelompok akseptor didik dalam menanamkan dan menumbuh-kembangkan anutan Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidup yang diaplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan pengertian semacam ini maka Pendidikan Agama Islam berbasis bimbingan konseling diarahkan pada proses penyiapan akseptor didik untuk menghadapi kehidupan sehari-hari dengan berlandaskan pada norma dan anutan agama Islam.
2.      Konsep PAI berbasis bimbingan dan konseling sanggup dikategorikan sebagai pembelajaran terintegrasi (pembelajaran terpadu), yaitu kegiatan menghubungkan pengetahuan di seluruh disiplin ilmu, dan dari konteks dan perspektif yang berbeda.
3.      Fungsi PAI berbasis bimbingan dan konseling yaitu menyiapkan akseptor didik untuk berperilaku sehari-hari sesuai dengan  anutan agama Islam yang tidak sekedar terhenti pada pemahaman kognitif yang bersifat rasional dan hafalan semata, melainkan juga pemahaman afektif dan psikomotorik yang bersifat keyakinan, perasaan dan juga melibatkan aspek laku (praktek) dalam kehidupan sehari-hari.
4.      Pendidikan Agama Islam yang berbasis bimbingan konseling merupakan sebuah konsep pembelajaran yang bertujuan untuk menjadikan anutan agama Islam sebagai patokan, ukuran dan pijakan dalam perubahan perilaku, menghadapi masalah, meningkatkan kemampuan dalam menentukan keputusan, meningkatkan korelasi antar perorangan, dan menyediakan akomodasi untuk pengembangan kemampuan akseptor didik.
5.      Karakteristik PAI berbasis bimbingan dan konseling antara lain; PAI berbasis bimbingan konseling sebagai kegiatan bantuan, PAI berbasis bimbingan konseling untuk perubahan perilaku, menjadikan lingkungan sebagai pendukung kegiatan PAI berbasis bimbingan konseling, dan Guru PAI berbasis bimbingan dan konseling mempunyai kiprah multifungsi.

Demikian makalah ihwal Pendidikan Agama Islam berbasis Bimbingan Konseling. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh lantaran itu, kritik dan masukan konstruktif sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa datang.



DAFTAR PUSTAKA

Abraham, Jessy.Guidance & Counselling For Teacher Education, New Delhi: Sarup & Son Publisher, 2003.
Adi, Kukuh Jumi.Esensial Konseling: Pendekatan Traint and Factor dan Client Centered. Yogyakarta: Garudhawaca, 2013.
Arif, Mahmud.Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LKiS, 2008.
Assegaf, Abdur Rahman., dkk. Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Suka Press, 2007.
Daradjat, Zakiah.Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Djumransjah.Filsafat Pendidikan. Malang: Bayumedia Publishing, 2004.
Eksan, Moch. Kiai Kelana: Biografi Kyai Muchith Muzadi. Yogyakarta: LkiS, 2000.
Gunarsa, Singgih.Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Gunung Mulia, 2007.
Hashemi, Nader.Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Demokrasi Dalam Masyarakat Muslim. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Koesoema A., Donie.Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Harsanto, Radno.Pengelolaan Kelas Yang Dinamis: Paradigma Baru Pembelajaran Menuju Kompetensi Siswa. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007.
Leonard, Bonne Jean Brown.Integrative Learning as a Developmental Process: a Grounded Theory of College Students' Experiences In Integrative Studies. Dissertasi untuk gelar Doctor of Philosophy, University of Maryland, 2007.
Luddin, Abu Bakar M. Dasar-Dasar Konseling: Tinjauan Teori dan Praktek. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010.
Lutomia, George A. dan Sikolia, Laban W. Guidance and Counselling in Schools and Colleges. Nairobi: Uzima Press, 2002.
Mahmud, Jafar.Education Psychology. New Delhi: APH Publishing Corporation, 2008.
Majid, Abdul dan Andayani, Dian.Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005.
Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. Yogyakarta: LKiS, 2009.
Samba, Sujono.Lebih Baik Tidak Sekolah. Yogyakarta: LKiS, 2007.
Soedijarto.Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta: Penerbit Kompas, 2008.
Soedjatmoko.Menjadi Bangsa Terdidik Menurut Soedjatmoko. Jakarta: Penerbit Kompas, 2009.
Syafaat,Aat.dan Sahrani, Sohari.Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Kenakalan Remaja. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008.
Tarigan, Azhari Akmal.Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi: Sebuah Eksplorasi Melalui Kata Kata Kunci Dalam Al-Qur’an. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2012.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI.Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian 2: Ilmu Pendidikan Praktis. Bandung: PT. Imtima, 2007.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI.Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian III: Pendidikan Disiplin Ilmu. Bandung: PT. Imtima, 2007.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003.
Wiguna, Alivermana.Isu-Isu Kontemporer Pendidikan Islam. Yogyakarta: Deepublish, 2014.





[1] Abu Bakar M. Luddin, Dasar-Dasar Konseling: Tinjauan Teori dan Praktek, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010, 4.
[2]Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta: Penerbit Kompas, 2008, 47.
[3] Radno Harsanto, Pengelolaan Kelas Yang Dinamis: Paradigma Baru Pembelajaran Menuju Kompetensi Siswa, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007, 9.
[4] Sujono Samba, Lebih Baik Tidak Sekolah, Yogyakarta: LKiS, 2007, 25.
[5] Abu Bakar M. Luddin, Dasar-Dasar Konseling...., 3.
[6] Fadlil Yani Ainusysyam, Pendidikan Akhlak, dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian III: Pendidikan Disiplin Ilmu, Bandung: PT. Imtima, 2007, 20.
[7] Djumransjah, Filsafat Pendidikan, Malang: Bayumedia Publishing, 2004, 22.
[8] Donie Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta: Grasindo, 2007, 63.
[9] Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, Yogyakarta: LKiS, 2009, 18.
[10] Donie Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak...., 63.
[11] Aat Syafaat dan Sohari Sahrani, Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Kenakalan Remaja, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008, 15.
[12] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, 15.
[13] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 Pasal 1 ayat (2).
[14] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 Pasal 37 ayat (1).
[15] Abdur Rahman Assegaf, dkk., Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Suka Press, 2007, 146.
[16] Soedjatmoko, Menjadi Bangsa Terdidik Menurut Soedjatmoko, Jakarta: Penerbit Kompas, 2009, 116.
[17] Moch. Eksan, Kiai Kelana: Biografi Kyai Muchith Muzadi, Yogyakarta: LkiS, 2000, 130.
[18] Menurut Ahmad D. Marimba dikutip oleh Alivermana Wiguna dinyatakan bahwa pendidikan Islam yaitu bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama berdasarkan ukuran-ukuran Islam. (Lihat Alivermana Wiguna, Isu-Isu Kontemporer Pendidikan Islam, Yogyakarta: Deepublish, 2014, 16)
[19] Seringkali Pendidikan Agama Islam diasumsikan sebagai salah satu mata pelajaran di dalam sistem pendidikan secara keseluruhan.
[20] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Demokrasi Dalam Masyarakat Muslim, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010, 286.
[21] Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: LKiS, 2008, 215.
[22] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005, 134-135.
[23] Abu Bakar M. Luddin, Dasar-Dasar Konseling: Tinjauan Teori dan Praktek....,11.
[24] George A. Lutomia dan Laban W. Sikolia, Guidance and Counselling in Schools and Colleges, Nairobi: Uzima Press, 2002, 1.
[25] Jessy Abraham, Guidance & Counselling For Teacher Education, New Delhi: Sarup & Son Publisher, 2003, 4.
[26] Abu Bakar M. Luddin, Dasar-Dasar Konseling: Tinjauan Teori dan Praktek....,16.
[27] Kukuh Jumi Adi, Esensial Konseling: Pendekatan Traint and Factor dan Client Centered, Yogyakarta: Garudhawaca, 2013, 9.
[28] Singgih Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: Gunung Mulia, 2007, 24-27.
[29] Bonne Jean Brown Leonard, Integrative Learning as a Developmental Process: a Grounded Theory of College Students' Experiences In Integrative Studies, Dissertasi untuk gelar Doctor of Philosophy, University of Maryland, 2007.
[30] Singgih Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi...., 24.
[31] Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi: Sebuah Eksplorasi Melalui Kata Kata Kunci Dalam Al-Qur’an, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2012, 182.
[32] Singgih Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi...., 25.
[33] Singgih Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi...., 25.
[34] Singgih Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi...., 26.
[35] A.G. Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1977, 161.
[36] Singgih Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi...., 26.
[37] Singgih Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi...., 26-27.
[38] Singgih Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi...., 27.
[39] Singgih Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi...., 33.
[40] Jafar Mahmud, Education Psychology, New Delhi: APH Publishing Corporation, 2008, 65.
[41] Singgih Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi...., 35.
[42] Jafar Mahmud, Education Psychology...., 65-66.
[43] Ahman dan Sunaryo Kartadinata, Bimbingan dan Konseling di Sekolah Dasar, dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian 2: Ilmu Pendidikan Praktis, Bandung: PT. Imtima, 2007, 80. 

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Pendidikan Agama Islam Berbasis Bimbingan Konseling"

Post a Comment

Powered by Blogger.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel