Peran Filsafat Ilmu Dalam Pengembangan Pendidikan
PERAN FILSAFAT ILMU DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN
Oleh : Nur Munafiin.
A. Pendahuluan
Penciptaan Adam sebagai insan pertama dalam sejarah peradaban umat insan yang mengamanatkan suatu tata kelola terhadap alam semesta menjadi awal atas munculnya kebutuhan akan pendidikan. Dialog Tuhan dan Malaikat wacana keberadaan Adam sebagai khalifah di bumi merupakan bukti teologis sekaligus menjadi landasan moral bagi insan untuk mencapai suatu pengetahuan tertentu dalam rangka melaksanakan amanah khalifah yang dibebankan kepadanya. Dengan demikian, pendidikan merupakan salah satu cara untuk mendapat pengetahuan. Pendidikan dalam hal ini berfungsi sebagai pemberi makna atas perjalanan hidup seseorang. Dengan pendidikan, pengetahuan insan akan meningkat dan dengan meningkatnya pengetahuan seseorang, pasti derajat dan kedudukannya pun ikut meningkat. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Mujadilah : 11 yang artinya : “…niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kau dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat”.
Dalam Islam, pendidikan merupakan salah satu kegiatan wajib yang mesti dilakukan oleh setiap muslim sepanjang hayat –long life education-. Ia merupakan pecahan yang tidak sanggup dipisahkan dari kehidupan umat manusia, -meminjam istilah John Dewey- pendidikan telah menjadi “kebutuhan hidup” untuk menunjang keberadaan mereka semoga tetap survive. Dengan kata lain bahwa antara pendidikan, proses hidup dan kehidupan insan yakni kesatuan yang mesti berjalan serempak dan tidak terpisah satu dengan yang lainnya.[1]
Sebagai kebutuhan hidup yang menunjang keseluruhan aspek kehidupan yang terus mengalami perubahan, pendidikan perlu diarahkan kepada terealisasinya relevansi dan kemampuannya dalam menjawab tantangan serta masalah-masalah kemanusiaan. Dalam hal ini, pendidikan memerlukan adanya kajian dan pemikiran yang mendalam dan menyeluruh, baik secara konseptual maupun operasional, sehingga menghasilkan output yang berdaya saing dan berdaya guna. Corak pengkajian dan pemikiran yang mendalam dan menyeluruh atau dengan kata lain berpikir secara filosofis terhadap pendidikan mutlak dilakukan, baik terkait dengan landasan ontologis, epistemologis maupun landasan aksiologis dari sebuah pendidikan.
Berpikir filosofis mengandung arti upaya menggali hakekat pengetahuan secara menyeluruh, fundamental dan spekulatif. Menyeluruh mengandung makna bahwa sebuah pengetahuan atau ilmu tidak cukup dikenali dari sudut pandang pengetahuan atau ilmu itu sendiri, melainkan harus didasarkan pada pijakan konstelasi pengetahuan lainnya. Adapun berpikir secara fundamental merupakan aktifitas yang secara fundamen membongkar dan menelusuri kebenaran dari suatu pengetahuan atau ilmu. Corak berpikir semacam ini merupakan upaya mempertanyakan mengapa suatu hal sanggup disebut benar, bagaimana proses evaluasi berdasarkan kriteria tersebut dilakukan, apakah kriteria itu sendiri benar, dan apakah yang dimaksudkan dengan benar itu sendiri, serta pertanyaan-pertanyaan lainnya yang menyerupai sebuah bundar yang dimulai dari suatu titik awal. Berpikir fundamental artinya mencari titik awal dari suatu pengetahuan atau ilmu tersebut. Sedang spekulatif mengandung maksud tidak adanya kepastian dalam suatu pengetahuan yang hendak dijadikan sebagai pijakan awal di dalam langkah-langkah berpikir.[2]
Dalam kajian filsafat, banyak disiplin ilmu yang telah ditemukan, sebut saja menyerupai rumpun ilmu-ilmu alam (the natural science), rumpun ilmu-ilmu social (the social science), dan rumpun ilmu-ilmu humaniora. Dalam perkembangannya, ilmu-ilmu alam mengalami perkembangan yang lebih cepat dibandingkan dengan dua rumpun lainnya, yang sedikit mengalami “stagnasi” keilmuan, walaupun pada alhasil kedua rumpun inipun juga ikut berkembang.
Sebagai pecahan dari kehidupan manusia, pendidikan merupakan perjuangan dari insan remaja yang telah sadar akan kemanusiaannya, dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda, semoga nantinya menjadi insan yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan hakikat dan ciri-ciri kemanusiaannya.[3] Berangkat dari hal inilah, kiprah dari sebuah analisa dan pemikiran yang mendalam mutlak diperlukan. Dengan kata lain bahwa sebuah analisa filosofis diorientasikan untuk menjawab persoalan-persoalan pendidikan yang bersifat filosofis pula, yang tidak cukup selesai hanya dengan memakai analisa ilmiah semata.
B. Pengertian Ilmu dan Kedudukan Filsafat Ilmu Dalam Kajian Pendidikan
Suatu hal sanggup disebut sebagai ilmu kalau memenuhi sekurang-kurangnya tiga hal, yakni pengetahuan, aktifitas dan metode. Ketiga-tiganya merupakan suatu kesatuan logis yang harus ada secara berurutan. Pemahaman yang menempatkan ilmu sebagai pengetahuan, aktifitas dan metode, berdasarkan The Liang Gie[4] sanggup digambarkan menyerupai denah berikut :
|
|
|
Sebagai sebuah aktifitas penelitian, ilmu merupakan rangkaian aktifitas yang membentuk sebuah proses yang bersifat rasional, kognoitif dan teleologis. Proses ini dilaksanakan untuk mencapai pengetahuan, kebenaran, pemahaman, penjelasan, peramalan dan pengendalian, di mana tujuan-tujuan ini harus didasarkan pada mekanisme tertentu atau dalam bahsa ilmiah disebut dengan metode ilmiah.[5]
Sebagai sebuah metode ilmiah, ilmu yakni mekanisme yang meliputi banyak sekali tindakan pikiran, rujukan kerja, tata langkah dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan gres atau memperkembangkan pengetahuan yang ada. Dalam hal ini langkah-langkah yang dilakukan oleh imu yakni (1) rujukan procedural yang meliputi pengamatan, percobaan, pengukuran, survai, deduksi, induksi, analisis dan lainnya; (2) tata langkah yang terdiri dari pnentuan masalah, perumusan hipotesis, pengumpulan data, penurunan kesimpulan dan pengujian hasil; (3) banyak sekali taknik yang berupa daftar pertanyaan, wawancara, perhitungan, pemanasan dan lainny a; dan (4) aneka alat yang meliputi timbangan, meteran, perapian, computer, dan lainnya.
Sebagai pengetahuan sistematis ilmu mengandung arti keterangan-keterangan dan data-data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan yang mempunyai hubungan-hubungan ketergantungan dan teratur. Dalam hal ini, ilmu mempunyai ciri-ciri empiris, obyektif, analitis dan verifikatif. Dengan demikian ilmu sanggup diartikan sebagai rangkaian aktifitas insan yang rasional dan kognitif dengan banyak sekali metode berupa aneka mekanisme dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan atau individu untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan klarifikasi ataupun melaksanakan penerapan.
C. Perkembangan Teori Pendidikan
Perbedaan pendekatan yang dipakai oleh para hebat filsafat atau para filosof pada rentang waktu tertentu dalam menyikapi suatu obyek permasalahan hidup telah melahirkan banyak sekali macam pandangan atau aliran, termasuk di dalamnya filsafat pendidikan. Hal ini dikarenakan sifat pemikiran filsafat yang tidak pernah mandeg dan tidak mengenal istilah final, sehingga di dalam percaturan filsafat, sering kali hanya berkisar pada permasalahan serupa, baik sebagai suatu bentuk persetujuan maupun penolakan terhadap kesimpulan yang telah ada.
Dalam sejarah perkembangan pemikiran dunia filsafat pendidikan, secara garis besar pemikiran tersebut sanggup dibedakan ke dalam lima aliran pokok yang meliputi pemikiran-pemikirannya terhadap dunia pendidikan.[6] Kelima aliran tersebut yakni :
1. Aliran Progresivisme
Progresivisme yakni aliran filsafat pendidikan yang mempunyai pandangan hidup fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan, tidak terikat oleh suatu doktrin tertentu), curious (ingin mengetahui, ingin menyelidiki), toleran dan open-minded (mempunyai hati yang terbuka). Aliran ini sangat besar lengan berkuasa pada kurun ke 20, di seluruh dunia utamanya di Amerika Serikat. Akiran ini memberikan pembaharuan dalam lapangan pendidikan.
Sebagai sebuah aliran pemikiran, progresivisme gres muncul pada pertengahan kurun ke 19. Akan tetapi kalau ditarik garis perkembangannya ke belakang, maka pemikiran progresivisme senyatanya telah ada semenjak masa Yunani kuno, yakni semenjak masa Heraklitus (± 544 – 484 SM), di mana sebagai seorang filosof, ia mengemukakan bahwa sifat yang terutama dari realita yakni perubahan. Menurutnya tidak ada sesuatu yang tetap di dunia ini, kecuali asas perubahan itu sendiri. Hal ini kemudian dikuatkan oleh Socrates (469 – 399 SM) yang berusaha mempersatukan antara epistemology dengan aksiologi. Menurut Socrates, bahwa yang baik sanggup dipelajari dengan kekuatan intelek, dan pengetahuan yang baik sanggup menjadi pedoman bagi insan untuk melaksanakan kebajikan. Selanjutnya Protagoras mengajarkan bahwa kebenaran dan norma atau nilai tidak bersifat mutlak melainkan relative yaitu tergantung kepada waktu dan tempat. Aristoteles memberikan moderasi dan kompromi (jalan tengah) dalam kehidupan.[7]
Pada masa modern, semenjak kurun 16 – 19, pemikiran Francis Bacon, John Locke, Rousseau, Kant dan Hegel sanggup merepresentasikan aliran progresivisme. Francis Bacon memberikan sumbangan dengan usahanya untuk memperbaiki dan memperhalus metode eksperimentil (metode ilmiah dalam pengetahuan alam). Pandangan Locke yang menyampaikan bahwa pertumbuhan dan perkembangan hidup insan ditentukan oleh faktor dari luar dan dari dalam dirinya, yaitu pengalaman baik yang sengaja maupun tidak. Menurutnya pendidikan sanggup memilih jalan hidup manusia.[8] Jean Jacques Rousseu yang memberikan bahwa kebaikan berada di dalam insan melulu lantaran kodrat yang baik dari manusia.[9] Dalam hal pendidikan Rousseu memberikan tiga pinsip mencar ilmu mengajar yang berpusat pada anak didik, pendidikan dan sekolah.[10] Kant memulyakan manusia, menjunjung tinggi akan kepribadian insan memberi martabat insan suatu kedudukan yang tinggi. Bagi Kant, kebenaran merupakan pencocokan realitas terhadap intelek.[11] Sedang Hegel mengajarkan bahwa alam da masyarakat bersifat dinamis, selamanya berada dalam keadaan gerak, dalam proses perubahan dan adaptasi yang tidak ada hentinya.
Pada kurun ke 19 – 20, tokoh-tokoh menyerupai Thomas Paine dan Thomas Jefferson, melalui kepercayaan mereka terhadap demokrasi dan penolakan mereka terhadap sikap dogmatis, telah mengantarkan progresivisme ke pada puncak keberpengaruhannya di Amerika Serikat.
Dalam hubungannya dengan pendidikan, progresivisme tidak sanggup dipisahkan dari keyakinan-keyakinan filsafat menyerupai pragmatism, instrumentalisme, dan eksperimentalisme, di mana untuk merealisasikan tujuan umum pendidikan, yang dalam bahasa John Dewey disebut sebagai warga masyarakat yang demokratis, pelaksanaan pendidikan, mulai dari konten, metode, dan praktik pendidikan harus dilaksanakan secara integratif dan tidak terpisah-pisah antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya.[12]
2. Aliran Esensialisme
Aliran ini muncul pada zaman Renaissans,[13] di mana ia memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang mempunyai kejelasan dan tahan usang sehingga memberikan kestabilan dan arah yang jelas.[14] Hal ini berbeda dengan progresivisme yang lebih menekankan pada aspek fleksibilitas.
Dalam filsafat esensialisme merupakan pecahan dari metafisika yang mengakui keunggulan zat. Menurut faham ini, setiap wujud jenis (kebendaan), mempunyai kumpulan karakteristik tertentu. Esensialisme yakni generalisasi yang menyatakan bahwa sifat-sifat tertentu yang dimiliki oleh suatu kelompok (orang misalnya, hal-hal, ide-ide) bersifat universal dan tidak tergantung pada konteks.[15] Faham ini mempunyai pandangan bahwa anggota kelompok tertentu mungkin mempunyai karakteristik lain yang tidak diharapkan untuk membuat keanggotaanya tidak menghalangi keangotaan lainnya, tetapi esensi tidak hanya mencerminkan cara pengelompokan obyek, menghasilkan sifat dari obyek.
Dalam pendidikan, aliran esensialisme tidaklah berdiri sendiri, melainkan ia ikut diwarnai oleh paham-paham dari penganut aliran idealism dan realism. Menurut Imam Barnadib,[16] tokoh-tokoh yang ikut berperan dalam penyebaran aliran ini yakni :
a. Desiderius Erasmus, yaitu seorang humanis Belanda yang hidup antara simpulan kurun 15 dan permulaan kurun 16. Ia memberikan bahwa kurukulum sekolah harus bersifat humanistis dan internasional, sehingga bisa meliputi lapisan menengah dan kaum aristocrat.
b. Johann Amos Comenius (1592-1670), seorang realis-dogmatis. Ia beropini bahwa pendidikan mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan, lantaran menurutnya, dunia yakni dinamis dan bertujuan
c. John Locke (1632-1704), seorang tokoh Inggris yang mempunyai sekolah kerja untuk belum dewasa miskin. Ia beropini bahwa pendidikan hendaknya selalu erat dengan situasi dan kondisi.
d. Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827) yang mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat alam ini tercermin pada manusia, sehingga pada diri insan terdapat kemampuan-kemampuan wajarnya. Menurutnya bahwa insan juga mempunyai kekerabatan transcendental eksklusif dengan Tuhan.
e. Johann Friederich Frobel (1782-1852), seorang kosmis-sintetis. Ia berkeyakinan bahwa insan yakni makhluk ciptaan Tuhan yang merupakan pecahan dari alam ini, sehingga insan tunduk dan mengikuti ketentuan-ketentuan aturan alam. Menurutnya anak yakni sebagai makhluk yang berekspresi secara kreatif, yang dalam tingkah lakunya akan Nampak adanya kualitas metafisis. Oleh karenanya kiprah pendidikan menurutnya yakni memimpin anak didik kea rah kesadaran diri sendiri yang murni, selaras dengan fitrah kejadiannya.
f. Johann Friederich Herbert (1776-1841), seorang murid Kant, ia beropini bahwa tujuan pendidikan yakni menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari yang Mutlak dalam arti adaptasi dengan hukum-hukum kesusilaan. Tujuan pendidikan menurutnya yakni “pengajaran yang mendidik”.
g. William T Harris (1835-1909), seorang tokoh dari Amerika Serikat. Ia berpandangan bahwa pendidikan mempunyai kiprah untuk mengijinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang pasti berdasarkan kesatuan spiritual. Dalam hal ini, berdasarkan Harris, sekolah berperan sebagai forum yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi penuntun adaptasi diri kepada masyarakat.
Untuk mewujudkan tujuan umum dari sebuah pendidikan, maka berdasarkan aliran esensialisme, isi pendidikan harus meliputi ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang bisa menggerakkan kehendak manusia. Sedangkan kurikulum sekolah berdasarkan aliran ini merupakan miniature dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan.[17] Dalam filsafat pendidikan esensialisme, belum dewasa harus mencar ilmu mata pelajaran dasar tradisional, yang harus dipelajari secara menyeluruh dan disiplin. Program pengajaran dilaksanakan secara progresif, dari ketrampilan kurang komplek hingga lebih komplek. Adapun materi pengajaran biasanya diarahkan mulai dari membaca, menulis, sastra, bahasa asing, sejarah, matematika, sains, seni dan music.[18] Aliran esensialis bertujuan untuk menanamkan hal-hal penting menyerupai pengetahuan akademik, patriotism dan pengembangan abjad bagi setiap anak didik.
3. Aliran Perenialisme
Dalam Oxford Learner’s Dictionary of Current English, perennial diartikan sebagai “continuing throughout the whole year” atau “lasting for a very long time”-abadi atau kekal. Dalam filsafat, aliran perenialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang kepada nilai-nilai yang bersifat kekal dan abadi. Aliran ini memberikan konsep “kembali kepada kebudayaan masa lampau” regressive road to culture untuk mengatasi krisis kemanusiaan yang timbul sebagai akhir dari modernism. Sebagai sebuah aliran flsafat pendidikan, perenialisme bersumber pada dua asas, yaitu perenialisme teologis di bawah fatwa Thomas Aquinas dan perenialisme sekuler yang berpegang pada ilham dan keinginan Plato.
Dalam bidang pendidikan pokok pikiran Plato wacana ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yakni manifestasi dari pada aturan universal yang awet dan sempurna, yakni ideal sehingga ketertiban social hanya mungkin bila ilham telah menjadi ukuran. Tujuan pendidikan dalam hal ini yakni membina pemimpin yang sadar dan mempraktikkan asas-asas normative tersebut dalam semuaaspek kehidupan. Menurut Plato, insan lahir dengan membawa tiga potensi kodratiah, nafsu, kemauan dan pikiran. Maka pendidikan menurutnya diorientasikan pada upaya pemenuhan potensi-potensi tersebut.
Sejalan dengan Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas membuatkan ide-ide Plato dengan lebih mendekatkan kepada dunia kenyataan. Tujuan pendidikan bagi Aristoteles yakni “kebahagiaan” dan menurutnya untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut, maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus dikembangkan secara seimbang. Sedangkan bagi Thomas Aquinas tujuan pendidikan yakni sebagai perjuangan mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu semoga menjadi aktualitas. Menurut paham filsafat pendidikan Thomas Aquinas, seorang guru berperan untuk mengajar, memberikan dukungan kepada anak didik untuk membuatkan potensi-potensi yang ada pada dirinya,[19] baik potensi-potensi yang bersifat kejiwaan maupun yang bersifat materi (fisik). Hal ini dipengaruhi oleh pemahamannya wacana manusia. Menurutnya insan yakni suatu kesatuan yang berdiri sendiri, yang terdiri atas bentuk jiwa dan materi.[20] Dalam pandangannya wacana jiwa, menurutnya, jiwa mempunyai lima daya, daya jiwa vegetative, daya jiwa sensitive, daya jiwa yang menggerakkan, daya jiwa untuk berpikir dan daya jiwa untuk mengenal.
4. Aliran Rekontruksionalisme
Latar kemunculan aliran ini sebanarnya sama dengan perenialisme, yaitu untuk mengatasi krisis kehidupan modern, akan tetapi jalan yang ditempuh sedikit berbeda. Dalam rekontruksionalisme, untuk mengatasi problem-problem kehidupan modern, maka perlu dilakukan training terhadap suatu consensus yang paling luas dan paling mungkin wacana tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia, atau disebut dengan restore to the original form. Hal ini sedikit berbeda dengan perenialisme yang lebih mengedepankan pada proses kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal yang telah terpuji ketangguhannya.
Bagi rekontruksionalisme, kesepakatan semua orang mengenai tujuan utama yang sanggup mengatur tata kehidupan insan dalam suatu tatanan gres seluruh lingkungannya, harus segera didapatkan. Maka bagi aliran ini, forum dan proses pendidikan dijadikan sebagai sarana untuk mengubah tata susunan usang dan membangun tata susunanhidup kebudayaan yang sama sekali baru.[21] Para penganut aliran ini berkeyakinan bahwa bangsa-bangsa di dunia mempunyai hasrat yang sama untuk membuat satu dunia baru, dengan satu kebudayaan gres di bawah satu kedaulatan dunia, dalam pengawasan lebih banyak didominasi umat manusia.
5. Aliran Eksistensialisme
Dalam filsafat eksistensialisme merupakan mazhab yang mempunyai prinsip bahwa segala tanda-tanda bertolak dari eksistensi, yaitu suatu cara pandang keberadaan dunia dan insan berada yang membedakan dengan makhluk lain.[22] Aliran ini merupakan reaksi atas peradaban insan yang hamper punah pasca perang dunia kedua.[23] Mereka bertujuan mengembalikan keberadaan umat insan sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.
Keberadaannya sebagai sebuah aliran filsafat berbeda dengan filsafat eksistensi. Paham eksistensialisme secara radikal menghadapkan insan pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat keberadaan yakni sebuah filsafat yang menempatkan cara wujud insan sebagai tema sentral.[24] Dalam hal ini eksistensialisme mengandung makna suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis dan tidak ilmiah, ia menolak segala bentuk kemutlakan rasional.
Terkait dengan pendidikan, eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk dan oleh karenanya, bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada kini ini, tidak sanggup diterima. Aliran ini memberikan sebuah konsep kebebasan yang bukan dipahami sebagai arbitrium liberum di mana hampir semua hal yang mungkin dan mana nilai-nilai yang tidak penting untuk pilihan dan tindakan. Kebebasan eksistensialisme tidak terletak di beberapa jenis ruang abstrak, di mana semuanya mungkin, lantaran orang bebas, dan lantaran mereka sudah ada di dunia, maka tersirat bahwa kebebasan mereka hanya di dunia ini, dan bahwa hal itu juga terbatas.[25]
D. Kontriusi Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Pendidikan
Pendidikan yakni upaya-upaya dan keinginan untuk memberikan pengertian, pengalaman dan kemampuan generasi terdahulu kepada generasi penerus semoga mereka sanggup melaksanakan fungsinya sebagai manusia.[26] Dalam pengertian ini, pendidikan mempunyai makna sebagai transfer of knowledge yang berada di dalam sikap insan yang berada di dalam proses mencar ilmu mengajar. Pendidikan mempunyai makna hakiki, yakni sebagai proses untuk “memanusiakan manusia”. Hal ini memperlihatkan bahwa tanpa pendidikan maka insan tidak akan menjadi insan dalam arti sebenarnya, yaitu insan yang utuh , dengan segala fungsinya, baik fisik maupun psikis.
Dalam sejarah, pendidikan terus mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya insan dan lingkungannya. Sebuah perkembangan yang melibatkan keseluruhan potensi insan yang diarahkan untuk menemukan temuan-temuan gres melalui percobaan-percobaan, baik yang dikendalikan oleh pemerintah maupun swasta dengan banyak sekali pendekatan dan metodologi, di mana muara simpulan dari perkembangan pendidikan ini yakni “tercapainya kedewasaan” yakni tercapainya titik optimal dari perkembangan semua potensi insan yang meliputi fungsi-fungsi individualitas, sosialitas dan moralitasnya.[27]
Filsafat ilmu merupakan pecahan dari epistemology yang secara spesifik mengkaji wacana hakikat ilmu. Ia merupakan pecahan dari pengetahuan yang mempunyai karakteristik tertentu. Meskipun secara metodologi, ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu social, namun dikarenakan permaslahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial termasuk di dalamnya pendidikan.
Menurut Jujun S Suriasumantri,[28] filsafat ilmu merupakan suatu telaahan secara filsafat untuk mendapat balasan atas pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat ilmu yang berupa (1) obyek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana kekerabatan antara obyek tadi dengan daya tangkap insan (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan? (2) bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan semoga kita mendapat pengetahuan yang benar? Apa yang disebut pengetahuan itu sendiri? Apakah kriteianya? Cara/teknik/ sarana apa yang membantu kita dalam mendapat pengetahuan yang berupa ilmu? (3) untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/ professional?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mewakili setiap jenis dari landasan ilmu, di mana kelompok pertanyaan pertama disebut sebagai landasan ontologis, kelompok kedua sebagai landasan epistemologis dan kelompok ketiga sebagi landasan aksiologis. Ketiga landasan ini menempel pada setiap jenis pengetahuan, baik ia berupa ilmu, seni ataupun agama. Dengan demikian sebuah pengetahuan diketahui berdasarkan ketiga landasan tersebut atau dengan kata lain untuk membedakan jenis pengetahuan satu dengan jenis pengetahuan lainnya, maka pertanyaan yang sanggup diajukan yakni : Apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontology)? Bagaimana cara mendapat pengetahuan tersebut (epistemologis)? Serta untuk apa pengetahuan tersebut dipergunakan (aksiologis)? Jawaban atas ketiga pertanyaan tersebut akan memudahkan seseorang untuk membedakan banyak sekali jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia. Dengan demikian, jenis-jenis pengetahuan menyerupai ilmu, seni dan agama gampang dikenali dan diletakkan pada tempatnya masing-masing. Pengenalan setiap ciri pengetahuan secara benar akan menyelamatkan kita dari kesalahan dalam memakai ilmu.
1. Pendekatan Ontologi
Pendekatan ontologis biasa juga disebut dengan pendekatan metafisis, ia membiacarakan obyek ilmu, kekerabatan antara subyek dengan obyek. Pada ketika insan menjawab obyek ilmu, obyek ilmu meliputi obyek material (subyek matter) dan obyek formal (focus of interst).[29] Obyek material ilmu sanggup dibedakan menjadi dua, obyek konkret dan abstrak, dan karenanya, kedua obyek tersebut telah melahirkan dua paham dalam metafisika, yakni realism dan idealism. Paham realism menitikberatkan pada kenyataan dalam obyektivitasnya, oleh lantaran itu hakikat yang ada yakni materi atau benda. Kenyataan konkret sanggup diketahui atau dipahami melalui indra manusia. Sebaliknya idealism berpandangan bahwa kenyataan yang sesungguhnya yakni bersifat rohani atau kejiwaan. Oleh lantaran bersifat abstrak, kenyataan yang ada sanggup dipahami melalui persepsi mental berupa kegiatan berpikir, menalar maupun intuisi. Landasan metafisis ilmu terletak pada obyek, baik konkrit maupun abstrak. Obyek ilmu juga besar lengan berkuasa pada subyek untuk memilih metode apa yang dipakai untuk memahaminya.
Sedangkan obyek formal ontology yakni hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam jumlah, telaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran materialism, idealism, naturalism, atau hylomorphisme.[30] Dalam pendidikan focus kajian dari pendekatan ontologis ini yakni mengenai hakikat pendidikan itu sendiri. Ia mencoba menafsirkan makna pendidikan ini sebagaimana adanya, ia mempertanyakan wujud hakiki dari pendidikan itu, ia juga mempertanyakan bagaimana hubungannya dengan manusia, sehingga muncul ilmu pendidikan.
Dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, pendekatan ini mempunyai peranan, di antaranya : (1) mengajarkan cara berpikir cermat dan tidak lelah untuk menjawab persoalan-persoalan yang bersifat teka-teki; (2) adanya tuntutan orisinalitas berpikir untuk mengupayakan penemuan-penemuan gres maupun untuk menguji kebenaran-kebanaran yang pernah ditemukan; (3) memberikan materi pertimbangan dan pijakan yang kuat terutama dalam pra anggapan; (4) memberikan ruang pada perbedaan visi dalam memahami realitas, sehingga sanggup memahami perbedaan pandangan yang muncul dalam mencari solusi problematika.[31]
Lebih khusus lagi, terhadap pendidikan Islam, masalah-masalah yang menjadi perhatian ontologi berdasarkan Muhaimin[32] adalah bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan Islam diharapkan pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia. Pertanyaan-pertanyaan ontologis ini berkisar pada: apa saja potensi yang dimiliki manusia? Kata fitrah yang ditemukan dalam al-Qur’an maupun al-Hadis apakah sama dengan “potensi” dalam kamus pendidikan secular? Jika keduanya yakni sama, maka Potensi dan/ atau fitrah apa dan dimana yang perlu mendapat prioritas pengembangan dalam pendidikan Islam? Apakah potensi dan atau fitrah itu merupakan pembawaan (faktor dasar) yang tidak akan mengalami perubahan, ataukah ia sanggup berkembang melalui lingkungan atau faktor asuh ?
Lebih luas lagi apa hakekat budaya yang perlu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya? Ataukah hanya fatwa dan nilai Islam sebagaimana terwujud dalam realitas sejarah umat Islam yang perlu diwariskan kepada generasi berikutnya? Inilah aspek ontologis yang perlu mendapat penegasan.[33]
2. Pendekatan Epistemologi
Epistemology, biasanya didefinisikan sebagai cabang ilmu filsafat yang membahas ilmu pengetahuan secara menyeluruh dan mendasar. Ia disebut sebagai theory of knowledge. Epistemology berbicara wacana sumber-sumber ilmu dan bagaimana insan bisa meraih ilmu. Sementara knowledge atau ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang sangat fundamental dalam kehidupan manusia.[34] Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara eksklusif maupun tidak eksklusif turut memperkaya kehidupan kita, alasannya yakni pengetahuan merupakan sumber balasan bagi banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.
Pada dasarnya, setiap jenis pengetahuan merupakan balasan atas pertanyaan yang tertentu. Oleh karenanya untuk sanggup memanfaatkan segenap pengetahuan kita, maka harus kita ketahui balasan apa saja yang mungkin bisa diberikan oleh suatu pengetahuan tertentu, dengan kata lain bahwa kita perlu mengetahui kepada pengetahuan manakah suatu pertanyaan diajukan.
Epistemology dalam hal ini merupakan upaya untuk menyusun pengetahuan yang benar semoga sanggup memberikan balasan yang benar sebagaimana yang diharapkan setiap orang yang mengajukan pertanyaan. Landasan yang dipakai oleh epistemology ini kemudian disebut sebagai metode ilmiah. Dengan kata lain bahwa metode ilmiah merupakan cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar.
Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri yang spesifik mengenai apa (ontology), bagaimana (epistemology) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontology ilmu terkait dengan epistemology ilmu dan epistemology ilmu terkait dengan aksiologi ilmu. Makara kalau kita ingin membicarakan epistemology ilmu, maka hal ini harus dikaitkan dengan ontology dan aksiologi ilmu.[35]
Inti pendekatan epistemology yakni mempersoalkan bagaimana proses terjadinya ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya sarana ilmiah, sikap ilmiah, metode, kebenaran ilmiah. Pemikiran merupakan landasan utama dalam melaksanakan kegiatan ilmiah yang akan menggabungkan kemampuan kecerdikan dengan pengalaman dan data yang diperoleh selama melaksanakan kegiatan ilmiah.[36]
Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan wacana pengetahuan.[37] Dari sini kemudian muncul dua paham, rasionalisme dan empirisme. Paham rasionalisme menekankan pada peranan kecerdikan dalam memperoleh pengetahuan. Paham ini berpandangan bahwa sumber pengetahuan insan yakni kecerdikan dan rasio. Menurutnya syarat suatu pengetahuan sanggup dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan yakni yang diperoleh melalui kegiatan akal. Rasionalisme mempunyai ciri pokok, pertama, adanya pendirian bhawa kebenaran hakiki secara eksklusif sanggup diperoleh dengan sarana kecerdikan dan kedua,adanya suatu klasifikasi logis atau deduksi yang dimaksudkan untuk memberikan pembuktian seketat mungkin mengenai seluruh sisi bidang pengetahuan berdasarkan atas apa yang dianggap sebagai kebenaran-kebenaran hakiki.[38]
Idealisme merupakan akar dari paham rasionalisme, mereka memakai metode deduktif, akal, apriori dan koherensi di dalam membuatkan pemikiran mereka. Sebaliknya empirisme menekankan kepada pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Dalam pandangan empirisme, pengalaman insan meliputi pengalaman lahir yang menyangkut dunia dan pengalaman batin yang menyangkut pribadi manusia. Akar dari paham ini yakni realism yang menjadikan metode induktif dalam mencari kebenaran ilmiah. Upaya untuk mempertemukan kedua paham yang jelas-jelas berbeda ini telah dilakukan oleh Emanuel Kant dengan memberikan paham kritisisme, di mana dalam pandangan paham ini pengetahuan pada dasarnya yakni hasil yang diperoleh adanya kolaborasi antara bahan-bahan yang bersifat indrawi yang kemudian diolah oleh kecerdikan sehingga terdapat kekerabatan alasannya yakni akibat. Kebenaran ilmiah memerlukan data dan fakta yang akurat kemudian diolah dengan metode ilmiah atau metodologi yang digambarkan sebagai the rule of the game dalam ilmu yang pada dasarnya tidak pernah berakhir.[39]
Dalam membuatkan ilmu pengetahuan termasuk pendidikan, setiap insan mempunyai sarana berpikir yang meliputi logika, matematika, statistika dan bahasa. Logika yakni pengetahuan wacana kaidah berpikir atau perjuangan untuk menarik simpulan melalui kaidah-kaidah formal. Logika mempelajari argument, yakni wacana yang terdiri atas pernyataan simpulan yang ditarik dari dua atau lebih pernyataan yang daligus sebagai isebut premis. Matematika yakni bahasa artifisial yang bersifat cermat dan terbebas dari unsur emosi. Matematika memberikan sifat kuantitatif kepada pengetahuan keilmuan yang sekaligus sebagai sarana berpikir deduktif. Statistika membantu kita dalam penarikan simpulan secara induktif dari fakta-fakta empiris. Adapun bahasa memungkinkan insan berpikir secara ajaib di mana obyek-obyek factual ditransformasikan menjadi symbol-simbol bahasa yang bersifat abstrak.
Dalam pendidikan, analisis epistemologis dilaksanakan terkait dengan landasan dan metode pendidikan. Di mana tujuan pendidikan yakni manusia, maka oleh karenanya menyentuh filsafat wacana manusia. Pendidikan merupakan kegiatan mengubah insan sehingga membuatkan hakikat kemanusiaan. Kegiatan pendidikan dilakukan terhadap insan dan oleh manusia, yang bertujuan membuatkan potensi kemanusiaan. Hal ini sanggup terjadi kalau insan sebagai “animal educandum, educabile, dan educans”. Epistemology ini dikembangkan oleh Langeveld, seorang Paedagog Belanda.
Dalam kapasitasnya sebagai animal educandum, educabile dan educans, analisis fenomenologis wacana insan sebagai target tindakan pendidikan telah menempatkan paedagogik (ilmu pendidikan) sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang patut dipertimbangkan. Paedagogik sebagai ilmu pengetahuan melukiskan materi pengetahuan pendidikan yang bermanfaat untuk melaksanakan pengajaran ilmu pengetahuan di sekolah.
Dengan demikian, analisis epistemologis dan metode fenomenologi wacana kegiatan pendidikan –menurut Dimyati- telah melahirkan paedagogik sebagai ilmu yang otonom. Sedangkan analisis epistemologi dengan pragmatismenya melahirkan philosophy of education sebagai cabang filsafat khusus. Dari sudut pandang pragmatisme, kegiatan pendidikan pecahan tidak terpisahkan dari kebudayaan; kegiatan pendidikan dipandang sebagai penerapan pandangan filsafat insan terhadap anak manusia.[40] Implikasinya, sanggup diilustrasikan kalau insan dipandang sebagai makhluk rasional, maka kegiatan pendidikan terhadap insan yakni membuat insan menjadi makhluk yang bisa memakai dan membuatkan akalnya untuk memecahkan masalah-masalah kebudayaan manusia.
Jelaslah bahwa telaah lengkap atas tindakan insan dalam fenomena pendidikan melampaui daerah ilmiah dan memerlukan analisis yang berdikari atas data paedagogi (pendidikan anak) dan data andragogi (pendidikan orang dewasa). Adapun data itu meliputi fakta (das sein) dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya. Data faktual tidak berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi (fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu (pedagogi dan andragogi) secara empiris. Begitu pula data nilai yang normatif tidak berasal dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman atas insan secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafat.[41]
Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya pedagogik yakni ilmu yang menyusun teori dan konsep pendidikan. Oleh alasannya yakni itu setiap pendidik dihentikan ragu-ragu atau mengalah kepada keragu-raguan prinsipil. Hal ini serupa dengan ilmu simpel lainnya yang mikro dan makro. Seperti kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh lantaran itu pedagogik (telaah pendidikan mikro) serta pedagogik simpel dan andragogi (telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas memakai atau menerapkan telaah aliran filsafat normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Yang lebih diharapkan ialah penerapan metode filsafat yang radikal dalam menelaah hakikat penerima didik sebagai insan seutuhnya dan sebagainya.
Menyangkut pendidikan Islam, berdasarkan Muhaimin, pertanyaan-pertanyaan epistemologis yang dikembangkan yakni menyangkut hal-hal berikut: untuk membuatkan potensi dasar insan serta mewariskan budaya dan interaksi antara potensi dan budaya tersebut, apa saja isi kurikulum pendidikan Islam yang perlu diberikan? Dengan memakai metode apa pendidikan Islam itu sanggup dijalankan? Siapa yang berhak mendidik dan dididik dalam pendidikan Islam? Apakah semua yang ada di alam semesta ini, ataukah hanya insan saja, atau hanya Muslim saja yang sanggup mendidik dalam pendidikan Islam?[42]
Pertanyaan-pertanyaan diatas mengarah pada upaya pengembangan pendidikan Islam yang secara fundamental berkaitan dengan problem dasar dan sekaligus metodologis. Oleh lantaran itu kalau subtansi pendidikan Islam merupakan paradigma ilmu, berdasarkan Abdul Munir Mulkhan maka problem epistemologis dan metodologis pemikiran Islam yakni juga merupakan problem pendidikan Islam.[43]
3. Pendekatan Aksiologi
Perkembangan ilmu pada akhir-akhir ini telah melampui batas yang sanggup diperkirakan oleh insan di masa-masa sebelumnya. Karena remaja ini, ilmu telah bisa mempengaruhi reproduksi dan penciptaan insan itu sendiri. Ilmu tidak saja menimbulkan tanda-tanda dehumanisasi, tetapi bahkan kemungkinan sanggup mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, lantaran ilmu tidak lagi hanya sekedar sarana yang membantu insan untuk mencapai tujuan hidupnya, tetapi keberadaan ilmu telah bisa membuat tujuan hidup itu sendiri.[44]
Menghadapi kenyataan seperi itu, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya. Pertanyaan-pertanyaan ilmu telah bergeser kepada untuk apa bahwasanya ilmu itu harus dipergunakan? Di mana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Dan ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan inti dari pendekatan aksiologis. Ilmu pada umumnya dimaksudkan untuk meningkatkan harkat dan martabat insan atau untuk memanusiakan manusia. Oleh karenanya, dalam hal pendidikan, focus pertanyaan aksiologisnya yakni pengetahuan yang bagaimanakah yang harus dipelajari dalam pendidikan, semoga terjadi keseimbangan antara insan sebagai makhluk social dengan lingkungannya?
Lebih dari pada itu, pendidikan yang didasarkan kepada landasan aksiologis ilmu harus selalu didasarkan pada pijakan nilai-nilai etis dan estetis. Mengingat keberadaanya sebagai fenomena sosial, kultural dan keagamaan, pendidikan tidak sanggup dipisahkan dari sistem nilai. Begitupun halnya dengan estetika yang mempelajari wacana hakekat keindahan, lantaran keindahan merupakan kebutuhan insan dan menempel pada setiap ciptaan Allah. Tuhan sendiri Maha Indah dan menyukai keindahan.
Itu sebabnya pendidikan dalam prakteknya yakni fakta empiris yang syarat nilai dan interaksi insan dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat manusiawi. Untuk mencapai tingkat manusiawi itulah pada pada dasarnya pendidikan bergerak menjadi biro pembebasan dari kebodohan untuk mewujudkan nilai peradaban manusiawi
E. Penutup
Ilmu merupakan soko guru bagi kehidupan umat manusia, sedangkan pendidikan, baik formal maupun informal yakni sarana untuk meperoleh ilmu. Antara ilmu, pendidikan dan insan yakni satu kesatuan tunggal, yang kalau dipisah-pisahkan akan membentuk suatu bangunan yang tidak utuh. Untuk membentuk suatu bangunan peradaban yang memanusiakan manusia, keberadan ilmu dan pendidikan tidaklah sanggup ditawar-tawar.
Sejarah panjang perjalanan ilmu, yakni semenjak keberadaan insan itu sendiri harus terus dilanjutkan dengan banyak sekali tindakan ilmu, melalui banyak sekali metode ilmu sehingga bisa menghasilkan produk ilmu yang berdaya guna bagi kelangsungan kehidupan umat manusia. Upaya untuk terus menggali banyak sekali fenomena dari sudut pandang ilmu dihentikan berhenti hingga dengan berakhirnya kehidupan itu sendiri, begitu kiranya pesan dari seorang bijak “menuntut ilmu semenjak dari dalam kandungan hingga dengan masuk ke liang lahat”.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1995.
Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu ; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1993.
The Liang Gie, Pengantar Ilmu Filsafat, Yogyakarta : Liberty, 2004.
Muntu Abdullah, “Jurnal Akutansi, Manajemen Bisnis dan Sektor Publik”, dalam Peran Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Teori Akutansi, Vol. 4 No 1, Oktober 2007, 98-112.
Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat Pendidikan Teknologi, Vokasi dan Kejuruan, Bandung : Penerbit Alfabeta, 2013.
Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, Bandung : Pustaka Setia, 2010.
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta : Yayasan Penerbit FIP IKIP, 1982.
Muhammad Noor Syam, Pengantar Filsafat Pendidikan, Malang : Penerbit IKIP, 1978.
Fernando R Molina, The Sources of Eksistensialisme As Philophys, New Jersey : Prentice-Hall, 1969.
Fuad Hasan, Kita dan Kami, Jakarta : Bulan Bintang, 1974.
Muslim A Kadir dalam Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar atas kolaborasi dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1996.
Ahmad Ludjito dalam Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar atas kolaborasi dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1996.
Lasiyo, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Hand Out Kuliah Filsafat Ilmu, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2007.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam : di Sekolah, Madarasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005.
https://lenteramenyinari.blogspot.com//search?q=filsafat-ilmu-definisi-tujuan-implikasi Senin, 9 Maret 2015
Ardian Husaini, Filsafat Ilmu ; perspektif Barat dan Islam, Depok : Gema Insani, 2014.
Karl R Popper, Realism anda The Aim of Science, New Jersey : Rowman and Litlefield, 1983.
M. Dimyati, Dilema Pendidikan Ilmu Pengetahuan, Malang : IPTI, 2001.
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah (Yogyakarta: SIPRES, 1993).
[1] Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1995, 2.
[2] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu ; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1993, 20-22.
[3] Zuhairini, dkk. Filsafat…, 11.
[4] The Liang Gie, Pengantar Ilmu Filsafat, Yogyakarta : Liberty, 2004, 90.
[5] Muntu Abdullah, “Jurnal Akutansi, Manajemen Bisnis dan Sektor Publik”, dalam Peran Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Teori Akutansi, Vol. 4 No 1, Oktober 2007, 98-112.
[6] Zuhairini, dkk. Filsafat…, 19-31.
[7] Zuhairini, dkk. Filsafat…, 22-23.
[8] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat Pendidikan Teknologi, Vokasi dan Kejuruan, Bandung : Penerbit Alfabeta, 2013, 28.
[9] Zuhairini, dkk. Filsafat…,23.
[10] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat…, 29.
[11] Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, Bandung : Pustaka Setia, 2010, 186.
[12] Zuhairini, dkk. Filsafat…, 24.
[13] Renaissans berasal dari Bahasa Perancis renaissance yang berarti kelahiran kembali. Istilah renaissans merujuk pada banyak sekali periode kebangkitan intelektual yang terjadi di Eropa, khusunya di Italia sepanjang kurun ke- 15 dan kurun ke- 16. Istilah ini mulanya dikenalkan oleh spesialis sejarah kenamaan, Michelet, kemudian dikembangkan oleh J. Burchardt. Lihat Ayi Sofyan, Kapita…, 62-69.
[14] Zuhairini, dkk. Filsafat…, 25.
[15] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat…, 39.
[16] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta : Yayasan Penerbit FIP IKIP, 1982, 34-40.
[17] Zuhairini, dkk. Filsafat…, 27.
[18] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat…, 43.
[19] Zuhairini, dkk. Filsafat…, 28-29.
[20] Ayi Sofyan, Kapita…, 175
[21] Muhammad Noor Syam, Pengantar Filsafat Pendidikan, Malang : Penerbit IKIP, 1978, 183
[22] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat…,44.
[23][23] Fernando R Molina, The Sources of Eksistensialisme As Philophys, New Jersey : Prentice-Hall, 1969, 1.
[24] Fuad Hasan, Kita dan Kami, Jakarta : Bulan Bintang, 1974, 7-8
[25] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat…,53-54
[26] Muslim A Kadir dalam Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar atas kolaborasi dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1996, 51
[27] Ahmad Ludjito dalam Reformulasi…, 21.
[28] Jujun S Suriasumantri, Filsafat…, 33-35.
[29] Muntu Abdullah, “Jurnal…, 105.
[30] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat…,16.
[31] Lasiyo, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Hand Out Kuliah Filsafat Ilmu, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2007, 2.
[32] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam : di Sekolah, Madarasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005, 65.
[34] Ardian Husaini, Filsafat Ilmu ; perspektif Barat dan Islam, Depok : Gema Insani, 2014, 27.
[35] Jujun S Suriasumantri, Filsafat…,105.
[36] Muntu Abdullah, “Jurnal…, 106.
[37] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat…,17.
[38] Lasiyo, Filsafat…, 2.
[39] Karl R Popper, Realism anda The Aim of Science, New Jersey : Rowman and Litlefield, 1983, 103
[42] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madarasah dan Perguruan Tinggi ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 66.
[43] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah (Yogyakarta: SIPRES, 1993), 213.
[44] Wowo sunaryo Kuswana, Filsafat…, 18.
0 Response to "Peran Filsafat Ilmu Dalam Pengembangan Pendidikan"
Post a Comment